Surabaya, disinfecting2u.com – Fenomena politik uang pada Pilkada Jatim menunjukkan 54,8 persen warga Jatim menerima uang namun tidak memilih siapa yang memberikannya. Selain itu, 38,3 persen masyarakat di Jatim menilai kebijakan moneter adalah hal yang wajar. Fenomena tersebut terungkap dari survei Pusat Kajian Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAT) mengenai tingkat kebolehan kebijakan moneter di Jawa Timur dan pola membaca nasabah sebelum tahun 2024. hasil pemilu kepala daerah yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Antikorupsi dan Demokrasi. (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Ia menjelaskan, hasil survei menunjukkan 38,3 persen masyarakat Jawa Timur menganggap kebijakan moneter sebagai hal yang lumrah. Survei juga mengungkapkan sembilan kabupaten/kota diperbolehkan dalam kebijakan moneter Jatim.
“Hanya 5,9 persen yang menolak menerima uang.” Sementara itu, 54,8 persen masyarakat menerima uang namun tidak memilih pemberi uang, sedangkan 35,9 persen masyarakat menerima uang dan memilih calon pemberi uang, kata Satria Ungul Wikaksono, Direktur Utama. Pusad.
Berdasarkan hasil survei terhadap 1.065 responden di 38 kota kabupaten di Jawa Timur, nominal ekspektasi masyarakat sebesar 100.000 dengan respon tertinggi sebesar 35,2 persen. “Politik uang menjadi persoalan serius pada Pilkada 2024. Ada berbagai jenis dan istilah shodakoh politik, serangan fajar, dukungan sosial dan lain-lain, suara pemilih akan sangat akurat dalam menentukan setiap pasangan calon,” jelasnya. .
Berdasarkan hasil survei, berbagai bentuk model kebijakan moneter dapat dilakukan di kalangan pemilih muda di Jawa Timur, seperti menjajakan pengaruh setelah terpilihnya seorang calon atau menjanjikan jabatan tertentu, pemberian uang, bantuan sosial, infrastruktur, paket perjalanan, dan lain-lain. . . Sementara itu, Komisioner KPU Provinsi Jawa Timur Choirul Umam mengatakan kebijakan moneter masih menjadi pekerjaan rumah dalam setiap pemilukada dan pemilu dan trennya saat ini semakin meningkat. “Tren politik uang semakin menjadi pekerjaan rumah bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu dan tantangan kita bersama adalah memitigasi hal tersebut,” kata Chairul Umam. Diakuinya, KPU selama ini belum memiliki formula yang baik dalam menurunkan kebijakan moneter yang terjadi pada setiap pemilu dan pemilihan pimpinan daerah. Oleh karena itu, harus ada komitmen yang jelas dari elit politik untuk tidak menambah uang politik, ujarnya. (msi/jarak)