Jakarta, disinfecting2u.com – Federasi Serikat Pekerja Pertamina (FSPPB) berkomitmen menjaga kedaulatan energi nasional dengan menggelar workshop energi nasional di Hotel Double Tree, Sikni-Jakarta, pada Rabu (9/10/2024).
Diskusi ini menghadirkan pengamat energi dan pengamat ekonomi nasional seperti Prof. Daniel M.Rose, Profesor. Mas Roro Lilic., Profesor Asdar, Profesor. Juajir Sumardi, Profesor. Mukhtasor, Ichsanuddin Nursi, Marwan Batubara, Yusri Usman, Faisal Yusra, Salamuddin Deng, Ferdinand Hutahin, Ugan Gander, Sofiano Zakaria, Tulus Abadi, Defian Kori, Kurtubi, Komaidi Notonegoro, Sonny Fahruri, Efendi dll.
Acara ini fokus membahas masa depan sektor energi di Indonesia, khususnya pengelolaan minyak dan gas bumi.
Hasil pembahasan diharapkan dapat memperkuat fleksibilitas dan kedaulatan energi nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Rekomendasi tersebut akan disampaikan kepada Pemerintah dan DPR periode 2024-2029, dengan harapan dapat memperkuat peran Pertamina sebagai pilar utama pengelolaan energi berkelanjutan nasional.
Presiden FSPPB Ari Gumiller menekankan pentingnya menjaga dominasi energi dengan mengedepankan peran strategis Pertamina sebagai BUMN.
“Kami bersyukur bisa bersama-sama bertukar pikiran tentang tantangan dan peluang di bidang energi, khususnya pemerintahan di masa depan. Kami ingin memastikan Pertamina tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan energi nasional,” ujarnya dalam keterangannya. pada Kamis (10/10/2024).
Sementara itu, Pengamat Energi Marwan Batubara menekankan pentingnya kembali pada tatanan konstitusi dalam pengelolaan sektor strategis seperti energi.
“Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan BUMN harus menyelenggarakan pengelolaan sektor strategis. “Kepemilikan dan privatisasi yang terjadi beberapa tahun terakhir merupakan pengkhianatan terhadap Konstitusi,” kata Marwan.
Selain itu, pengamat energi dan pertambangan Qurtubi menilai ini saat yang tepat untuk memilih presiden baru.
Ia juga menegaskan, pengelolaan migas di Tanah Air selama 20 tahun terakhir dilakukan dengan undang-undang yang salah, yakni UU No. 22 Tahun 2001 yang menyebabkan penurunan produksi minyak nasional.
Presiden berhak mengeluarkan keputusan untuk mencabut undang-undang yang merugikan negara dan memulihkan sistem yang lebih populis, ujarnya.
Para pemateri dan peserta yang hadir dalam forum diskusi tersebut berkesimpulan bahwa Pertamina sebaiknya menjadi perusahaan negara yang statusnya berada langsung di bawah Presiden tanpa ada subholding.
Pasal 33 merupakan ayat 2 dan 3 UUD 1945; Juga Purpu no. 44 Tahun 1960; dan UU Migas No. 8 Tahun 1971 dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Lokakarya Energi Nasional ini menghasilkan rekomendasi dan usulan penerbitan Perpu atau Keputusan Presiden oleh Presiden Prabowo tentang Tata Kelola Energi Nasional sebagai pengganti UU No. Sementara itu, dalam workshop ini FSPPB mengajukan 3 usulan pokok untuk dibahas, yaitu:
1. Perubahan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi: FSPPB menilai undang-undang ini perlu segera diubah karena melanggar Konstitusi, terbukti mengurangi ekstraksi minyak nasional, dan mendukung kepentingan swasta dan asing.
Amandemen tersebut bertujuan untuk menjaga kedaulatan energi dengan memprioritaskan Pertamina dalam pengelolaan energi, termasuk minyak dan gas.
2. Memantapkan posisi Pertamina: FSPPB menghimbau pemerintah untuk mengkonsolidasikan Pertamina menjadi satu unit tanpa membaginya menjadi sub-pemegang. Disarankan agar Pertamina ditempatkan langsung di bawah kewenangan Presiden sebagai langkah strategis untuk memperkuat manajemen dan efisiensi perusahaan. FSPPPB mendesak Presiden menerbitkan Keputusan Presiden (Capers) tentang transformasi Pertamina.
3. Membeli kembali kepemilikan saham swasta/asing pada anak perusahaan Pertamina: FSPPB menghimbau pemerintah untuk membeli kembali saham swasta atau asing pada anak perusahaan Pertamina seperti PGN, Pertamina EP, PGE dan PIS, agar Pertamina dimiliki 100% oleh negara. . (lkf)