disinfecting2u.com – Gerakan 30 September 1965 yang lebih dikenal dengan sebutan G30S PKI masih kontroversial.
Bahkan, setiap memasuki bulan September, tragedi berdarah ini selalu menjadi perbincangan publik.
Lebih dari setengah abad telah berlalu sejak peristiwa ini terjadi, namun masih banyak pertanyaan yang masih tersisa hingga saat ini. Salah satunya adalah pertanyaan keberadaan Presiden Sukarno saat G30S PKI. Dimana sih Presiden Seokarno?
Pada malam hari tanggal 30 September 1965, Presiden Sukarno menghadiri Konferensi Teknik Nasional (Munastek) yang diselenggarakan oleh militer dan Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Dalam buku “Malam Bencana 1956 dalam Jeratan Krisis Nasional, Bagian I Rekonstruksi dalam Debat, Penerbitan Pertama Yayasan Obor Pustaka Indonesia”, tulis AB Lapian, konferensi nasional dimulai pukul 19.00 WIB, namun menurut bagi seorang peserta, hal itu tertunda selama berjam-jam.
Presiden Sukarno dikabarkan hanya datang untuk menyampaikan pidato singkat saat itu.
“Setelah itu, dia meninggalkan acara yang baru saja berlangsung. Mungkin ada sesuatu yang mengganggu pikirannya,” tulis AB Lapian merujuk pada kesaksian salah satu peserta acara tersebut.
Uniknya, Seokarno mengakhiri pidatonya malam itu dengan kisah Mahabhrata.
“Sekarang sudah hampir jam sebelas. Izinkan saya menceritakan sebuah kisah dari Mahabharata. Tentang Kresna yang memerintahkan Arjuna berperang melawan Korawa.’
Sudah menjadi tugas seorang prajurit untuk memperjuangkan dan membela negaranya. Benar sekali, yang kamu hadapi adalah saudaramu sendiri. Namun mereka ingin menghancurkan kerajaan Pandawa. Jalankan tugasmu tanpa memperhitungkan pro dan kontra!” pungkas Sukarno.
Selain itu, menurut AB Lapian, setelah acara berakhir, Presiden Seokarno berangkat menjemput Ibu Ratnasari Dewi.
Acara berakhir sekitar jam 11 malam. Setelah itu Bung Karno berangkat ke Istana Negara untuk berganti pakaian lalu berangkat menjemput Ibu Ratnasari Dewi yang berada di Nirwana Supper Nightclub. kata AB Lapian.
Dalam buku “Malam Bencana Nasional”, AB Lapian menulis Istana Negara penuh ketakutan pada 1 Oktober 1965.
Kolonel Bambang Widjanarko, sebelum meninggalkan Istana pada tengah malam tadi, telah memberitahukan kepada Presiden mengenai agenda pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, yakni coffee time pada pukul 7. Bung Karno akan menjadi Wakil Menteri Militer Leimena dan Menteri/Panglima- Jenderal Ahmad Yani menerima.” kata Lapianus.
Ajudan Presiden Sukarno, Kolonel Bambang, yang bertugas pagi hari sebagai inspektur gladi bersih upacara HUT ABRI di parkiran timur Senayan, mendapat laporan adanya penembakan dan penculikan beberapa jenderal.
Kolonel Bambang yang mendapat laporan itu segera berangkat ke Istana. Sesampainya di sana, ia langsung dihujani pertanyaan: “Apa kabar, di mana?”
“Saya langsung mengambil tindakan dengan bertanya kesana kemari. Saya bertanya kepada pengawal pribadi Istana apakah ada kontak dengan Pak Mangil, Komandan DKP yang selalu dekat dengan BK, jelas Kolonel Bambang.
“Mereka menjawab tidak ada kontak, baik radio maupun telepon. Saya telpon langsung ke rumah Bu Dewi di Jalan Gatot Subroto, BK tidak ada. Tidak ada telepon ke Slipi, rumah Bu Haryati. Jujur saja saat itu, dalam hatiku aku panik.
Sementara itu, AKBP Mangil, anggota Detasemen Pengawal Pribadi (DKP) Presiden Seokarno, mendapat telepon dari Sardi, anggota polisi tingkat I yang menjaga Presiden di rumah Ibu Seokarno. Dewi Sukarno.
Sardi menjelaskan, sambungan telepon Istana diputus oleh Mabes atas perintah prajurit yang menjaga kantor.
Mangil segera bergegas dan tiba di Wisma Yaso, kediaman Dewi Sukarno, pada pukul 05.45 dan membicarakan masalah sambungan telepon tersebut dengan pejabat DKP dan komandan kendaraan, Mayor Suprapto.
“Pada pukul 06.30 pagi, Presiden keluar ruangan menuju Istana. Rupanya ia mendapat informasi mengenai penembakan di Jalan Teuku Umar yang melibatkan Dr Leimena dan Jenderal Nasution, namun tidak dijelaskan secara rinci kejadian tersebut. belum diketahui. .” tulis Lapianus
AKBP Mangil kemudian dipanggil Presiden Sukarno dan dimintai penjelasan apakah lebih baik menginap di sini dulu atau langsung ke istana.
Mangil menyarankan agar Sukarno tinggal sementara di Wisma Yaso menunggu laporan dari anggota DKP untuk memeriksa kebenaran berita tersebut.
“Kenapa sampai sekarang kamu tidak tahu dengan jelas apa yang terjadi pada jam 4 pagi?” Presiden Sukarno berkata dengan nada marah.
Akhirnya setelah berkonsultasi, Sukarno memutuskan berangkat ke Istana.
Mobil Presiden dikendarai dengan kecepatan sedang oleh Mayor Suprapto. Di sebelahnya ada Sudarso yang dilengkapi mini talkie untuk komunikasi jarak pendek dengan mobil Mangil di belakangnya.
Sementara di depan mobil Presiden berdiri mobil jeep DKP yang dilengkapi radio telepon jarak jauh Lorenz.
Saat melewati Jembatan Dukuh Atas, rombongan mendapat laporan bahwa pasukan tentara di sekitar istana “merasa sangat curiga”.
Mangil memerintahkan rombongan menuju Jalan Kebon Sirih. Namun karena sudah melewati perempatan Kebon Sirih, rombongan langsung berbelok ke Jalan Budi Kemuliaan.
Rombongan mobil melaju sangat pelan bahkan terkadang berhenti lama karena arus lalu lintas menuju Merdeka Barat dialihkan melalui jalan tersebut.
Awalnya AKBP Mangil memutuskan memboyong Presiden RI ke Kebayoran Baru. Namun kontak tersebut datang dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa.
Ia meminta rombongan Sukarno dibawa ke rumah Nyonya Haryati di Grogol. Pukul 7 presiden dan pengawalnya tiba di Grogol.
Saelan meminta Presiden menunggu sebentar sambil mencari informasi untuk menentukan langkah selanjutnya. tulis Lapian.
“Tetapi kami tidak bisa berlama-lama di sini,” kata Bung Karno yang dibalas Saelan, “benar Pak, dan sebagai alternatifnya kami akan mencari tempat lain.”
Setelah Saelan, Mangil dan Letjen Suprapto berdiskusi bagaimana cara menyelamatkan Presiden, mereka memutuskan untuk pindah ke rumah di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru yang telah disiapkan Mangil.
Namun, sebelum pukul 08.30 WIB Letkol Suprapto dihubungi oleh Panglima TNI Omar Dhani yang berada di Pangkalan TNI Angkatan Udara (PAU) Halim.
Presiden Sukarno akhirnya memutuskan berangkat ke PAU Halim atas kemauannya sendiri pada pukul 09.00.
Sukarno berangkat dari Grogol melalui Jembatan Semanggi – Jalan Gatot Subroto – Jakarta By Pass – Cililitan lalu masuk PAU Halim. Sekitar setengah jam kemudian, rombongan Presiden Sukarno tiba.
Petugas yang menemaninya adalah seorang kolonel. BPS. Maulwi Saelan, Kapolri. Sumirat sebagai Ajudan, AKBP Mangil dan Letkol Suparto. (dengungan/tsy)