Takalar, disinfecting2u.com – Kekhawatiran pendidikan terjadi di salah satu sekolah dasar di Sulawesi Selatan, tepatnya di SDN 95 Campagaya di Desa Tamasaju, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar.
Hingga tahun 2021, pembangunan dan pembangunan sekolah ini terhenti karena sengketa tanah. Pihak yang mengaku mendapat manfaat dari tanah yang diwakili sekolah dilarang membangun atau merenovasi. Itu sebabnya jumlah sekolah bertambah hingga tahun 2025.
Akibat situasi ini, proses belajar mengajar siswa sangat terpengaruh.
Kepala SDN 95 Campagaya, Mirati sambil berlinang air mata menjelaskan, anak sekolahnya terpaksa belajar di IGD. Beberapa siswa bahkan dipindahkan ke kelas tambahan, sementara yang lain harus belajar di kamar tunawisma yang memiliki tenda sementara. Jika hujan turun, para siswa dipindahkan ke tempat lain.
“Kami juga menukarkan pinjaman untuk kelas lain. Kadang-kadang anak-anak belajar di luar, di gereja atau di ruang kelas. “Teras sekolah juga kami manfaatkan sebagai tempat belajar,” kata direktur, Selasa (14 Januari 2025).
Mirati mengatakan, sekolah SDN 95 Campagaya ditiadakan pada tahun 2021 karena bantuan medis yang diterima pihak sekolah.
“Saat itu kami mendapat bantuan untuk memperbaiki sekolah, bahan bangunannya hanya spandek. Namun ketika atap bangunan mulai dibongkar, pihak yang menganggap diri dermawan menghentikan semua pekerjaan restorasi, sekolah mulai terbengkalai,” katanya.
Situasi di Sekolah SDN 95 Campagaya, Desa Tamasaju, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Upaya serupa untuk memajukan sekolah pada tahun-tahun berikutnya selalu diwarnai kontroversi. Semoga konflik ini segera berakhir dan konflik ini tidak akan pernah berakhir.
Kepala SDN 95 Campagaya juga mengungkapkan, dari total enam kelas, tiga kelas di tingkat 1, 5, dan 6 sudah tidak memenuhi syarat lagi.
“Ada ruang kelas yang masih atapnya, namun bocor sehingga berbahaya bagi siswa jika hujan. Sedangkan ruang kelas 1, 5, dan 6 sudah tidak layak pakai,” jelasnya.
Untuk mengatasi masalah ini, sekolah memperkenalkan kursus sore untuk siswa kelas 4 hingga 6. Namun solusi tersebut kurang baik karena pendidikan di bawah tenda hanya berlangsung sampai jam 11 karena panas.
Selain itu, kondisi ini juga menimpa siswa. Menurut Hj. Mirati, jumlah pelajarnya berkurang sejak sengketa tanah. Banyak orang tua yang memutuskan untuk memindahkan anaknya ke sekolah lain.
Misalnya saat menerima siswa baru, para orang tua memutuskan untuk tidak menyekolahkan anaknya ke SDN 95 Campagaya karena melihat situasi yang terjadi.
“Dulu jumlah santri di sini mencapai 150 orang. Kini hanya tersisa 130 siswa. Jumlah siswa baru untuk kelas 1 juga sangat sedikit. “Biasanya mencapai 30-40 orang, kini hanya 12 orang,” ujarnya.
Mirati berharap pemerintah segera menyelesaikan sengketa lahan tersebut, sehingga sekolah dapat dibangun kembali dan menampung siswa.
“Kami berharap pemerintah bisa membantu menyelesaikan masalah ini. Kasihan anak-anak, mereka tidak punya cukup waktu untuk belajar. Situasi seperti ini sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.
Situasi ini menyoroti pentingnya perhatian dan tindakan mendesak pemerintah dan pemangku kepentingan untuk memastikan hak pendidikan anak-anak SDN 95 Campagaya dapat terpenuhi tanpa dampak buruk.
Namun ironisnya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Takalar justru menutup mata dan lamban dalam menyelesaikan permasalahan yang sudah berlangsung selama 3 tahun lebih.
Sementara itu, Darwis, Direktur Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Takalar, memberikan tanggapan terkait kekhawatiran SDN 95 Campagaya di Kecamatan Galesong Utara, Sulawesi Selatan.
Dijelaskannya, permasalahan utama yang menghambat rekonstruksi sekolah tersebut adalah permasalahan lahan.
“Situasi SDN 95 Campagaya hingga saat ini masih seperti itu karena kami dari Kementerian Pendidikan tidak bisa mengikuti proses pembangunan di sana karena kendala tempat, terutama lahan,” kata Darwis saat ditemui di ruang kerjanya.
Menurut Darwis, sekolah ini siap memasuki program khusus (DAK) mulai tahun 2021. Namun rencana ini batal karena ada klaim dari dermawan atas tanah tempat sekolah tersebut berdiri.
Darwis mengatakan, pemerintah daerah berupaya mencari solusi melalui mediasi dengan pemangku kepentingan. Langkah ini melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk Kejaksaan Negeri Takalar.
“Penegak hukum sudah memantau dan melakukan negosiasi dengan ahli waris. Berdasarkan hasil evaluasi, ahli waris tidak mempunyai pengaruh terhadap tanah yang digunakan untuk sekolah tersebut hingga sertifikat tanah tersebut terbit. tidak ada masalah dengan itu,” jelas Darwis.
Namun, Darwis menambahkan, untuk melakukan rehabilitasi atau pembangunan, lahan harus bersih. Ini adalah tantangan yang sedang kami atasi.
“Ini yang menjadi kendala, untuk renovasi status lahan sekolah harus jelas karena berdampak pada APBN,” ujarnya.
Darwis juga menjelaskan permasalahan pertanahan bukan menjadi tanggung jawab dinas pendidikan, melainkan tanggung jawab Badan Keuangan Daerah (BPKD).
“Kami di Kemendikbud hanya sebagai pengguna. Soal tanah tersebut sudah kami kirimkan ke bagian aset bank untuk diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Kami juga sudah mengirimkan informasi terkait tanah ini,” ujarnya.
Darwis mengaku prihatin dengan keadaan siswa yang harus belajar dengan pembatasan. Kami berharap proses penyelesaian permasalahan ini segera menemukan titik terang agar anak-anak SDN 95 Campagaya dapat menikmati fasilitas pendidikan yang layak.
“Anak-anak kurang mampu memang ada, proses belajar mengajar tetap berjalan, namun tentu saja tidak sebaik yang kita inginkan. Kita berharap proses ini segera selesai agar mereka bisa lebih mudah belajar,” tutupnya.
Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terus menyelesaikan sengketa lahan ini untuk menjamin hak pendidikan bagi anak-anak SDN 95 Campagaya. Bukan sekedar berhenti sejenak atau melakukan kerja keras jangka panjang yang sudah dilakukan lebih dari 3 tahun tanpa solusi.
(desain/asm)