disinfecting2u.com – Gus Baha menjelaskan teori bahwa tahlilan dianggap sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Gus Baha menjelaskan, tahlil ini sering dilakukan umat Islam Indonesia saat mendoakan orang meninggal.
Gus Baha menambahkan, analisis ini patut dilakukan untuk mengenang para korban meninggal.
Gus Baha menjelaskan, analisa tersebut seringkali berbentuk ritual yang dilakukan secara bersamaan dengan melantunkan kata-kata baik dan mendoakan orang yang meninggal.
Namun, banyak orang yang menganggap analisis ini merupakan tradisi lokal sebagai pengingat bahwa suatu saat mereka akan meninggal.
Gambar tahlilan saat mendoakan orang yang sudah meninggal. (NU Online/Google Plus) Lantas, benarkah analisa cara mendoakan orang meninggal berdasarkan tradisi lokal? Gus Baha berbicara tentang teori ini.
Dikutip disinfecting2u.com dalam video singkat di kanal YouTube Lentera Santri Indonesia, Senin (30/9/2024), Gus Baha angkat bicara soal analisis tersebut.
Gus Baha menyinggung pembahasan analisis tersebut karena banyak pihak yang salah mengenai sumbernya.
Umat Islam kerap melaksanakan upacara tahlil yang biasa dilakukan oleh anggota Nahdlatul Ulama (NU) dan umat Islam yang berada di Indonesia.
Tahlil ini terkadang sering mereka laksanakan untuk menjaga tradisi salat jika ada orang meninggal di dekatnya.
Guru asal Rembang ini mengatakan, tahlilan adalah situasi ketika seseorang dihadapkan pada sebuah tragedi.
Tragedi ini mempunyai makna kematian setelah melewati jalan kematian.
Ia juga mengatakan para ahli internasional telah menerima karya analisis atau yasin.
Hal ini mengingatkan mereka akan berbagai tugas, antara lain menyelesaikan banyak ritual dan banyak pahala, membaca Surat Yasin, Surat Al Fatiha dan lain sebagainya.
Ia mengatakan, ulama internasional yang membenarkan analisis tersebut adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan Ibnu Taymiyyah.
“Yang membolehkan pemberian Yasin, Fatih, Tahlil kepada almarhum adalah orang-orang seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim,” kata Gus Baha.
Khatib berusia 54 tahun ini menekankan berbagai aspek tahlilan sebagai amalan keagamaan umat Islam.
Menurut dia, kedua nama pakar internasional tersebut menjadi bukti bahwa analisis tersebut sudah dilakukan secara besar-besaran.
Ia menilai banyak masyarakat yang menganggap tahlilan sebagai budaya lokal karena minimnya pendidikan.
Tapi karena kita tidak membacanya, mereka seolah-olah menganggap analisis itu adalah kegiatan dalam negeri, yang tidak diterima, dan tidak diterima oleh para ahli internasional,” ujarnya.
Selain itu, Gus Baha mengutip penjelasan Ibnu Taimiyyah bahwa orang yang mengikuti Al-Qur’an berbicara kepada orang mati sebagai bagian penting dari analisis.
“Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa membacakan Al-Qur’an yang dipersembahkan untuk orang mati atau tahlili sangat penting bagi seseorang untuk menggunakan amalan ini,” ujarnya.
Allah A’lam Bishawab.
(metode)