Jakarta, disinfecting2u.com – Praktisi hukum Edi Hardum angkat bicara soal putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumatera Utara, yang membebaskan pasangan yang didakwa palsu. Surat kuasa, biaya perusahaan sebesar Rp 583 miliar.
“Jadi kalau dakwaan dan tuntutannya ada di Pasal 263, saya belum membaca dakwaannya, tapi sebagai mahasiswa hukum, ini tidak masuk akal. Jadi keputusan Onslag ini berdasarkan Pasal 263 palsu. Wajar jika pemalsuan dianggap pidana, bukan perdata,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis (7/11/2024).
Edi Hardum juga menilai hakim yang menjatuhkan putusan onslag di PN Medan adalah hakim yang sama yang menjatuhkan putusan di Surabaya dalam kasus Gregorius Ronald Tannur yang didakwa menghilangkan nyawa pacarnya, Dini Sera. Afrianti.
“Masuk dugaan terjadi sesuatu, ada persaingan, bisa suap atau lainnya. Makanya saya minta KPK turun tangan,” ujarnya.
Pertama, suruh Komisi Yudisial mencari hakim ini.
Kedua, Edi Hardum meminta pengawasan Mahkamah Agung untuk melakukan penyidikan.
“Mahkamah Agung tidak boleh diam, sayang sekali jika aparat penegak hukum lain bertindak di luar Mahkamah Agung. MA ini mohon maaf dan kasus terakhir ditemukan Rp triliun dan beliau menerimanya. Dikumpulkan dari kasus itu, sayang sekali,” ujarnya.
Selain itu, Mahkamah Agung diminta sesegera mungkin.
Pengawasan Mahkamah Agung tidak boleh hanya sekedar stempel.
“Itu yang saya duga, saya curiga kuat putusan onslag di dakwaan 263 itu main-main. Ada suap di sana,” kata Edi Hardum.
Jadi hakim harus mencari tahu mengapa hal itu terjadi. Jika memungkinkan, PPATK akan memeriksa rekening tersebut.
Bisa juga transaksi moneter, KPK juga akan memantau komunikasi wasit.
“Sangat disayangkan, ini pertandingan menyedihkan yang dilakukan wasit di Indonesia ya karena belum semua, masih ada wasit yang bersih. Tapi orangnya lebih banyak,” ujarnya.
Selain itu, Harvanto Nurmansya, pengamat hukum yang juga Ketua Umum Front Advokat Pemuda Bersatu (Baradatu), meminta Komisi Yudisial mengusut putusan PN Medan.
“Kalau perlu Komisi III akan turun tangan, seperti kasus Surabaya, Komisi III juga akan segera bicara dan meminta keterangan mengenai keputusan independensi tersebut,” ujarnya.
Harvanto, setelah keluar kasus ini, idealnya diusut, mungkin ada tuduhan, mungkin ada suap.
“Apa yang sedang didalami oleh aparat penegak hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yudisial berarti semua aparat penegak hukum terkait harus bertindak,” ujarnya.
Ditegaskan, semakin besar kasusnya, semakin besar pula potensi suap dan korupsi.
“Tentu saja, dalam setiap kasus yang cukup besar, pemantauan harus dimulai dari awal. Artinya memantau jika hal ini terjadi, apakah kita bisa mencegahnya. “Setengah triliun itu bukan hal yang kecil,” ujarnya.
“Mudah-mudahan kasus seperti ini bisa dicegah sejak awal, sehingga tidak terjadi persoalan multitafsir ketika memutus perkara,” ujarnya.
Sebelumnya, hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumatera Utara mengabulkan putusan bebas (onslag) terhadap pasangan suami istri (anak perempuan) yang dituduh memalsukan tanda tangan direktur CV Pelita Indah. . Hok Kim yang menyebabkan kerugian perusahaan sebesar Rp 583 miliar.
“Kedua terdakwa dibebaskan. “Membebaskan kedua terdakwa dari segala dakwaan,” Ketua Hakim M. kata Nasir, Selasa (5/11/2024) di ruang sidang Cakra II PN Medan.
Hakim menambahkan, perbuatan kedua terdakwa Jansson (66) dan istrinya Meliana Jusman (66) sudah terbukti, namun perbuatannya bukan pidana melainkan perdata.
Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Septian Napitupulu yang sebelumnya memvonis dua terdakwa lima tahun penjara karena melanggar Pasal 263 ayat (2) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurut Kejari Medan, terdakwa melakukan tindak pidana pada tahun 2009 hingga 2021 di Bank Mestika Zainul Arifin cabang Medan.
Membuat surat kuasa palsu untuk mengambil uang dari bank (LKF).