Kebiasaan Wudhu Memasukkan Tangan ke dalam Ember atau Gayung, Apakah Diperbolehkan dalam Islam? Kata Buya Yahya Hukumnya Jadi …

Jakarta, disinfecting2u.com– Kebiasaan memasukkan tangan ke dalam ember atau cangkir merupakan hal yang lumrah saat beraktivitas di kamar mandi. Lalu apa penghakiman dengan cara ini? Simak penjelasan Buya Yahya. 

Umat ​​Islam wajib berwudhu sebelum shalat. Buya Yahya mengatakan, tujuannya untuk membuang kotoran di dalam tubuh. 

Namun ada kebiasaan yang dilakukan sebagian besar masyarakat Indonesia. Apalagi pada usia anak-anak, mereka sering memasukkan tangan ke dalam cangkir atau wadah saat mencuci.

Hal ini juga bisa dianggap biasa atau lumrah bagi sebagian orang. Sebab di Indonesia penggunaan tangki atau kolam sudah menjadi hal yang lumrah. 

Namun, benarkah cara berwudhu dengan memasukkan tangan ke dalam cangkir atau wadah berisi air? Buya Yahya akan menjawabnya dalam ceramahnya di YouTube Al Bahjah Tv yang dikutip Rabu (4/12/2024). 

Menurut Buya Yahya, ada kesalahpahaman mengenai wudhu menggunakan dayung.

Diketahui, saat berwudhu, air yang disentuh tangan langsung menjadi najis.

Ada juga yang berpendapat bahwa menyentuh air suci dengan tangan sendiri menjadikannya air musta’mal, yaitu digunakan untuk membasuh bagian tubuh yang perlu disucikan.

Agar airnya menjadi musta’mal, maka air tersebut tidak boleh digunakan untuk membersihkan. 

“Misalnya ada gelas, panci kecil, ada air untuk mencuci. Lalu cuci pakai tangan. Itu opsional, jadi jangan ragu dengan persoalan ini,” jelas Buja Yahya.

Buya Yahya mengatakan, air musta’mal adalah air yang jatuh dari bagian suci. Misalnya tangan mengambil air dari cangkir untuk membersihkan wajah, maka air musta’mal adalah air yang menetes dari wajah. 

Oleh karena itu, Buya Yahya mengatakan, air dalam cawan yang disentuh tangan tetap dianggap suci dan bisa digunakan untuk mencuci.

“Kalau niat mandi besar, wajib membasuh seluruh badan di baskom besar. Kalau airnya sedikit, disentuh dan diaduk, tidak masalah, tapi airnya akan habis kalau mau mandi. mandi besar selagi kamu memakannya.”

 

Sebab, menurut banyak ulama, khususnya Syafi’iyah, tidak bisa digunakan untuk menyucikan peserta lain. Imam Nawawi berkata:

Dan الْوَجْهِ, لَمْ يَصِرْ مُسْرً وَإِنْ غَمَسَهَا بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الْو َجْهِيِنِ بَإِنْ غدَاَ بَإِنْ غَدَاَ بَإِنْ غدَاَ بَإِنْ غدَاَ بَإِنْ غدَاَ بَإِنْ غداَ نَ رَفعِ الْحَدَثِ, صَارَ مُسْ تَعْمَلًا. وَإِنْ نَوَى الِاغْتِرَافَ, لَمْ يَصِرْ,

 

“Jika seseorang mencelupkan tangannya ke dalam panci berisi air sebelum mencuci muka, maka air tersebut tidak akan menjadi makanan, jika dia mencelupkan tangannya ke dalam panci berisi air sebelum mencuci muka, maka air tersebut tidak akan menjadi makanan, jika dia mencelupkan tangannya. Setelah membasuh muka dengan maksud mengeluarkan daun teh dari tangannya, maka airlah. Menjadi musta’mal jika ia berniat ightirâf, maka tidak akan menjadi mustta “kecuali”. (an-Nawawi, Raudlat al-Thâlibîn, juz I, halaman 9). (Klw)

 

Waallahualaam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top