NEWS LEMBARAN Kasus Pencemaran Nama Baik, Jhon LBF Bawa Puluhan Ormas, Septia Pilih Berdamai

Jakarta, disinfecting2u.com – Majelis hakim dalam sidang putusan sela di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (10 Maret) menolak tuntas permohonan eksepsi yang diajukan Kelompok Advokasi Septia Sus Negara Abai (Tim Astaga). Alhasil, proses kriminalisasi terhadap Septia terus berlanjut.

Gema Geeta Persada, salah satu kuasa hukum Septia dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH Pers), menegaskan tidak melihat adanya ketidakadilan dalam kasus tersebut.

Gema berkata: “Mengingat kecenderungan untuk melihat putusan sementara hanya dari perspektif standar penuntutan, penolakan pengecualian hari ini menunjukkan kegagalan dalam menentukan tingkat ketidakadilan dalam kasus ini.”

Gema menambahkan, dukungan masyarakat sangat diperlukan untuk terus melanjutkan kasus ini hingga kasusnya disidangkan.

Namun di sisi lain, bisa juga diyakini bahwa hal-hal yang membuktikan terdakwa tidak layak untuk diadili secara pidana akan terungkap lebih jelas dalam proses penyidikan nanti. Oleh karena itu, kami meminta seluruh lapisan masyarakat untuk mengawasi hal ini. sampai keadilan ditegakkan,” tambahnya.

Sementara itu, Ganda Sihite dari Perhimpunan Hak Asasi Manusia dan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menegaskan yurisdiksi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dalam mengadili kasus tersebut.

Yurisdiksi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi salah satu poin utama dalam eksepsi yang diajukan, dimana kuasa hukum Septia berpendapat bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kasus tersebut karena di sanalah lokasi kejahatan. Dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Ganda mengatakan hakim tidak mengabaikan berbagai pihak dalam mengambil keputusan.

“Hakim tidak memperhatikan Pasal 143 ayat 3 KUHAP tentang kelengkapan berkas perkara dan lebih memperhatikan jawaban JPU dari segi alat bukti yang diajukan dalam proses peninjauan kembali berkas perkara.” bukti. Hakim juga mengabaikan Pasal 1 Ayat 2 KUHP terkait perubahan undang-undang, sehingga tindak pidana yang didakwakan merupakan tindak pidana mencari keuntungan. Hakim menolak ketentuan tersebut karena berdasarkan penyidikan, tegasnya. Kutipan dari Safenet.

Hafiz Nabiyin, Kepala Departemen Kebebasan Berekspresi Safenet, mengatakan keputusan hakim tersebut akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Ia meyakini kriminalisasi akan terus berlanjut dalam revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Hakim memilih menerima dakwaan JPU bahwa UU ITE versi 2016 menggunakan barang karet. Hal ini semakin menunjukkan bahwa perubahan UU ITE versi 2024 tidak ada gunanya untuk menghalangi kriminalisasi terbaru.” “UU ITE dijadikan alat represi,” ujarnya.

Sedangkan Septia memilih rujuk dengan Henry Kurnia Adhi alias John LBF. Kedamaian itu kembali dicapai dalam kasus pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hari ini.

“Dan Septia, apakah kamu ingin meminta maaf? Bukankah tadi kamu sudah meminta restorative justice?” Saptono, Ketua Dewan Kehakiman, bertanya.

“Baik, Tuanku,” jawab Septia. Ia dan John LBF berjabat tangan di depan juri.

Meski John sempat mengutarakan keinginannya untuk berdamai dengan terdakwa Septia, namun ia tetap meminta Septia mengklarifikasi dakwaan terhadap perusahaannya. 

Jaidin Nainggolan, kuasa hukum Septia, mengatakan permintaan maaf tersebut bukan berarti kliennya mengakui kesalahannya. “Seperti menghina perasaan orang lain,” ucapnya. 

Berbagai serikat pekerja juga memantau tes yang dilakukan Septia. Perwakilan Federasi Buruh Karawang menyerukan seluruh kelas pekerja untuk ikut memantau isu Septia. “Kami dari Federasi Buruh Karawang mendukung pembebasan Septia tanpa syarat. Melawan kriminalisasi pekerja perempuan oleh majikan! Bebaskan Septia!” Dia menekankan.

Kasus tersebut menjadikan Septia sebagai penjahat

Septia Hive Five (PT. Lima Sekawan) adalah mantan pekerja milik Jhon LBF yang berpengaruh. Mantan atasannya melaporkannya melalui akun X setelah bercerita tentang pelanggaran hak-hak pekerja yang dialaminya selama bekerja di perusahaan tersebut. Berbagai dugaan pelanggaran hak pekerja yang dihadapi Septia antara lain pemotongan gaji sepihak, upah di bawah UMP, lembur, tidak ada BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, tidak ada slip gaji, dan tidak ada salinan kontrak.

Pada 26 Agustus 2024, Septia ditahan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanpa alasan yang jelas. Kemudian, setelah diadili pada 19 September 2024, dia dibebaskan dan menjadi tawanan kota. Hingga saat ini, Septia masih menjadi tawanan kota.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Septia melanggar Pasal 27 Ayat 3 UU No. Keputusan Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang pencemaran nama baik dan pelanggaran Pasal 36 UU ITE tentang merugikan orang lain. Akibatnya, Septia kini terancam hukuman 12 tahun penjara.

Tim kuasa hukum Septia sebelumnya mengambil eksepsi. Beberapa argumen yang dapat dijadikan pengecualian adalah yurisdiksi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengadili kasus Septia, status hukum John LBF sebagai jurnalis, kebebasan berekspresi Septia sebagai korban pelanggaran hak-hak pekerja, dan kegagalan jaksa dalam meminta pemulihan. Keadilan, dan Jaksa menggunakan pasal karet di UU ITE lama meski di UU ITE baru. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top