Jakarta, disinfecting2u.com – Tim kuasa hukum Yunadi & Associates yang diwakili oleh Dr. Fredrich Yunadi, S.H., LL.M., MBA bersama tujuh pengacara lainnya telah mengajukan permohonan resmi perlindungan hukum kepada Komisi Yudisial Republik Indonesia
Laporan ini juga telah disampaikan kepada otoritas pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia. dan Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terkait dugaan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur melanggar Kode Etik Hakim.
Dalam aduannya Tim kuasa hukum menyoroti dugaan pelanggaran yang dilakukan ketua panel Chitta Cahyaningtyas, SH, MH, bersama anggota panel Abdul Ropik, SH, MH, dan Said Husein, SH, MH, serta anggota panitera pengganti Anita Sihombing, SH, MH Mereka juga menuduh direksi sebuah bank ikut serta dalam konspirasi kriminal yang melanggar prinsip penuntutan.
“Kami hadir di Panitia Yudisial atas nama pemegang saham Waskita, khususnya terkait perselisihan dengan salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Bank DKI. Sengketa ini terkait dengan Waskita Beton Precast (WBPP) yang pertama kali diajukan ke Pengadilan Niaga dalam sidang PKPU (Rujukan Kewajiban Pembayaran Utang) dan berakhir damai. Hal ini tertuang dalam UU Perdamaian No. 67,” kata Fredrich Yunadi dalam keterangannya, Kamis. (17/10/2024).
Yunadi & Associates mengacu pada keputusan bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan n. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009. Beberapa pasal yang diduga dilanggar antara lain Pasal 1.5, 1.7, 1.9, 3.1.7, 3.2, 5.1.4, 5.2.5 dan 10.4
“Yang perlu saya tambahkan di sini adalah para hakim tersebut terang-terangan telah melanggar asas hukum yang disebut dispensasi. Artinya, suatu perkara tidak dapat diselidiki oleh dua otoritas kehakiman yang berbeda, dan mereka melakukan intervensi terhadap hal-hal yang seharusnya tidak menjadi tanggung jawab mereka,” jelas Fredrich.
Dia juga menunjukkan bahwa hakim sepenuhnya menyalahgunakan yurisdiksinya.
“Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan untuk membatalkan putusan pengadilan niaga. Ini benar-benar tidak bisa diterima,” tegas Fredrich.
Fredrich juga mengatakan ada faktor mencurigakan dalam kasus tersebut.
“Tugas dan tanggung jawab Komisi Yudisial (KY) yang mengusut, bukan saya. Saya tidak bisa menanyai orang secara langsung,” ujarnya.
Kasus ini melibatkan kliennya. Merupakan perusahaan dalam negeri yang bergerak di bidang pengadaan bahan baku semen dan beton. Termasuk pelat sambungan
Klien merupakan kreditur rangkap dalam perkara Kewajiban Pembayaran Ditangguhkan (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta. Pihaknya mencari Rp 66,9 miliar dan Rp 50,06 miliar dari PT Waskita Beton Precast Tbk.
Perkara ini telah membuahkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini mencakup Perjanjian Perdamaian yang ditandatangani pada 17 Juni 2022 serta UU Perdamaian No. 1 tidak. 67 tanggal 30 Juni 2024.
Namun mereka berupaya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
“Ada sesuatu yang tidak biasa di sini. Kemudian pengadilan menerima perkara tersebut dan harus ditolak. Sama seperti di Jakarta Pusat. Ada tanda-tanda bahwa pengadilan memihak, seperti meneriaki terdakwa dan membuat janji. Saksi ahli yang tidak memenuhi persyaratan resmi,” tambah Fredrich.
Namun seorang direktur sebuah bank di Jakarta (kelima terdakwa) justru akan mengajukan gugatan perdata atas perjanjian tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Perkara tersebut melanggar asas litigasi, yaitu tidak ada dua perkara yang bisa sama dalam dua proses hukum yang berbeda.
Faktanya, kasus non-pembayaran sudah berjalan di Pengadilan Niaga Pusat di Jakarta.
Akibat tindakan yang dianggap ilegal tersebut, klien Yunadi & Associates mengalami kerugian langsung yang cukup besar sebesar R24,02 miliar. dan kerugian tidak berwujud sebesar R18,17 miliar.
Selanjutnya, pelanggan lainnya PT Waskita Beton Precast Tbk yang semula memiliki kapitalisasi pasar Rp 2,7 triliun mengalami kerugian material hingga Rp 1,5 triliun akibat kasus ini.
Para pengacara menyatakan bahwa hakim dalam kasus tersebut melanggar prinsip peninjauan kembali dengan menangani dua kasus dalam kasus yang sama.
Mereka juga menuduh hakim bersikap bias dan mengabaikan keberatan klien terhadap kompetensi sebenarnya.
Atas dasar itu, Yunadi & Associates meminta Komisi Yudisial dan Badan Pengatur Mahkamah Agung segera mengusut dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran etik yang dilakukan hakim.
Mereka juga menuntut perlindungan hukum bagi kliennya untuk mengembalikan hak mereka atas peradilan yang adil.
“Biarkan KY atau Bawas mengusut lebih lanjut. Kami belum bisa berkomentar lebih jauh,” ujarnya (lkf).