Jakarta, disinfecting2u.com – Rencana pengaturan keseragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tertuang dalam RUU Peraturan Menteri Kesehatan (RUU Permenkes) menuai protes dari berbagai pemangku kepentingan industri tembakau dan kementerian/lembaga terkait.
Topik ini sudah lama menjadi kontroversi, sebab proses penyusunan RUU Menteri Kesehatan terus berlanjut di Kementerian Kesehatan pada masa kerja kabinet Merah Putih.
Ketua Komite XIII DPR RI Willy Aditya menyatakan, kepentingan semua pihak harus diutamakan hanya dalam peraturan yang dibuat pemerintah, termasuk rancangan menteri kesehatan.
Willy meminta semua pihak yang terlibat untuk duduk bersama, bersikap objektif dan tidak memihak ego sektoral.
Ia menegaskan, industri tembakau memberikan kontribusi besar bagi negara melalui cukai dan menyerap jutaan tenaga kerja.
Jika pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus memaksakan RUU Menteri Kesehatan, maka aturan ini akan semakin menimbulkan kesimpangsiuran dan merugikan negara.
“Regulasi yang dibuat jangan hanya mengutamakan satu kepentingan saja, karena ada kepentingan yang lebih besar yang harus kita lihat. “Jika Kementerian Kesehatan masih ngotot mendorong rancangan peraturan Menteri Kesehatan itu bisa membahayakan kita semua,” kata Willy dalam keterangannya, Rabu (13/11/2024).
Ia melanjutkan, Kementerian Kesehatan harus belajar dari kasus industri TPT yang saat ini banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga meningkatkan angka pengangguran.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan diharapkan tidak sembarangan mengambil kebijakan yang merugikan pekerja dan petani tembakau.
“Kita harus belajar dari Sritex, banyak pengangguran. Lalu bagaimana kita membuat peraturan sewenang-wenang? Ojo!” desak Willy.
Willy juga menambahkan, posisi partainya adalah mendukung petani tembakau, UMKM, dan pekerja yang bergerak di sektor tembakau.
Ia juga mengingatkan Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan kepentingan yang lebih besar, yang harus dirumuskan bersama dengan kelompok kepentingan terkait.
“Pandangan saya adalah saya mendukung Anda dan orang-orang di industri tembakau, terutama mereka yang menanam tembakau. “Ayo kita semua teruskan perjuangan dan duduk bersama untuk mengartikulasikan persoalan ini,” tegasnya.
Selain itu, Indah Anggoro Putri, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI, mengatakan bahwa rancangan peraturan Menteri Kesehatan dan PP 28/2024 ini mendapat banyak penolakan dari masyarakat. asosiasi dan serikat pekerja.
Indah menjelaskan Kementerian Ketenagakerjaan sangat prihatin dengan kedua peraturan tersebut karena dapat meningkatkan angka PHK secara signifikan di Indonesia, apalagi industri tembakau merupakan sektor padat karya.
“PP 28/2024 banyak menerima pengaduan terdampak dari masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan. Kementerian Ketenagakerjaan juga memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ini karena berpotensi berkontribusi terhadap banyaknya PHK. Selain itu, industri tembakau juga menggerakkan sektor pendukung lainnya yang memiliki tenaga kerja cukup besar, seperti sektor kreatif, jelas Indah.
Ia melanjutkan, sektor ekonomi kreatif yang menjadi sektor pendukung industri tembakau menyerap tenaga kerja sebanyak 725.000 orang.
Oleh karena itu, jika kebijakan tersebut diberlakukan oleh Kementerian Kesehatan, dikhawatirkan akan ada tambahan 725.000 pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Insya Allah semoga tidak terjadi, seru Indah.
Indah mengatakan PHK tidak hanya berdampak pada perekonomian, tapi juga kehidupan sosial, mengingat sebagian besar pekerja di industri tembakau adalah perempuan yang merupakan tulang punggung keluarga.
“Jika kebijakan ini tidak diinvestigasi secara menyeluruh, hal ini dapat merugikan karyawan kami, yang banyak di antaranya adalah perempuan,” ujarnya.
Menanggapi banyaknya tekanan dari berbagai pihak terhadap rancangan Menteri Kesehatan tersebut, Sundoyo, staf ahli hukum Menteri Kesehatan, berkomitmen untuk melibatkan kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan industri tembakau terkait.
“Saat peraturan pemerintah ini dibuat, sudah dicoba. “Masukan saat kita serap aspirasi itu bermacam-macam dan ada yang diperhitungkan,” ujarnya.
Kementerian Kesehatan melihat ada dua kepentingan yang harus menjadi titik temu, yaitu pertama dari sisi ekonomi dan kedua dari sisi kesehatan.
“Pasti ada dinamika diskusi untuk mencari titik temu. Yang penting kebijakan ke depan perlu dibahas bersama agar tidak terjadi tumpang tindih. PP 28/2024 harus menang antara ekonomi dan kesehatan. “Jika teman-teman ingin berkontribusi terhadap peraturan tersebut, dapat mengunjungi website Kementerian Kesehatan, dimana mereka dipersilakan untuk menyampaikan aspirasinya,” jelasnya.
Di sisi lain, Ketua DPC Asosiasi Produsen Tembakau Indonesia (APTI) Bondowoso Muhammad Yasid justru menyoroti PP 28/2024 dan proses penyusunan Kementerian Kesehatan yang dinilai diskriminatif dan tidak. – transparan.
“Ratusan masukan telah disampaikan di situs yang banyak dihadiri tersebut, namun hingga saat ini belum ada tindak lanjut dari Kementerian Kesehatan. “Petani juga tidak pernah diundang ke audiensi publik, yang menurut Kementerian Kesehatan diadakan pada September lalu.”
Bahkan, Yasid mengatakan perekonomian petani tembakau sangat bergantung pada produk tembakau karena nilai ekonominya yang tinggi.
“Tanaman tembakau ini sangat menguntungkan makanya kita bergantung pada tembakau ini. Kita harus bangun rumah, menunggu hasil tembakau, pergi haji dan menunggu hasil panen tembakau,” kata (lkf).