disinfecting2u.com – Kesaksian pakar intelijen Dr. Suma Hastra saat pengawal Mbah Maridjan ditemukan tewas usai letusan Gunung Merapi.
Masyarakat Indonesia masih ingat dahsyatnya letusan salah satu gunung berapi teraktif di Indonesia yang terjadi pada 26 Oktober 2010.
Keluarnya awan panas dan peralatan menyebabkan kerusakan di banyak wilayah.
Ratusan orang menjadi korban bencana alam dahsyat tersebut, termasuk penjaga Gunung Merapi saat itu, Mbah Maridjan.
Setelah jenazah Mbaha Maridjan ditemukan dalam kejadian tersebut, tersiar kabar di masyarakat bahwa juru nama Gunung Merapi itu meninggal dunia dengan cara sujud ke puncak gunung.
Mengenai hal ini, pakar intelijen Dr. Sumy Hastry Purwanti saat ditemukan di rumahnya.
Jenazah Mbaha Marijan diketahui dirawat di RS Sardjito Yogyakarta.
Dr. Sumy Hastry dalam karyanya bersaksi menunjuk para korban Yogyakarta di saluran YouTube Denny Darko.
Saat itu, ia menjabat sebagai kepala perawatan medis di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang, Jawa Tengah.
“Saat (Gunung Merapi) erupsi, dilaporkan semburan awan panas dan abu mencapai Kota Magelang dan Muntilan, dan tim saya menghubungi kami,” kata dr. Gegabah.
Menurut kesaksian Dr. Suma Hastra segera berangkat ke Yogyakarta dan wilayah lain di Jawa Tengah untuk menemui para korban Gunung Merapi.
“Saya mengalaminya, katanya, Mbah Maridjan yang jadi korban. “Saya langsung ke Jogja, tapi mampir ke wilayah Jawa Tengah seperti Magelang dan Muntilan untuk melihat apakah ada jenazah atau meninggal,” lanjutnya.
Ia mengatakan, jumlah korban meninggal di Yogyakarta lebih banyak dibandingkan di sekitar Magelang.
“Kami sempat istirahat bersama tim di dalam mobil dan keesokan harinya kami mendapat telepon yang mengatakan kami akan pindah ke Jogja karena yang jelas korbannya di Jogja lebih banyak lagi,” kata Dr Hastry.
Sesampainya di Yogyakarta, Dr. Sumy Hastry membantu mengidentifikasi korban awan panas dan abu Gunung Merapi. Salah satunya adalah Mbah Maridjan yang dirawat di RS Sardjito.
“Dipastikan jenazah akan sulit diidentifikasi karena awan panas dan debu. Kami bekerja dan mengidentifikasinya sebagai Covid jadi kami harus memakai APD lengkap. “Kalau tidak terjadi, bisa berakhir di napas kita,” kata Dr. Sumy Hastry.
“Alhamdulillah kalau ada yang diketahui bisa segera dimakamkan, kalau tidak akan kami coba identifikasi. Ternyata Mbah Maridjan baru kami kenali beberapa hari kemudian,” lanjutnya.
Untuk memastikan keakuratan data korban Gunung Merapi, dokter lainnya, dr. Sumy Hastry, mendata langsung keluarga korban di pengungsian.
“Teman-temannya pun mendatangi TKP untuk menanyakan detail pembebasannya dari kamp pengungsi. “Saya penasaran siapa nama keluarga yang hilang, bagaimana kepribadiannya, karena kami di kamar jenazah sedang mempelajari data jenazah,” lanjutnya.
Alih-alih sujud, malah terlihat kondisi Mbaha Maridjan yang sebenarnya
Dalam wawancara dengan Denny Darko, Dr. Sumy Hastry membeberkan kondisi para korban letusan Gunung Merapi yang ditemukan tim evakuasi.
“Semuanya berwarna putih abu panas, putih tapi abu panas,” kata dr. Gegabah.
Sumy Hastry membenarkan, salah satu penyebab banyaknya korban jiwa dalam bencana ini adalah abu vulkanik yang dikeluarkan Gunung Merapi.
Korban juga ditemukan berlumuran debu panas.
“Karena dia menghirup (abu panas) melalui saluran pernafasannya, dia menghirup awan panas dan pasir menjadi satu, dan dia meninggal seketika. “Badannya dipenuhi debu panas (seperti lilin putih),” lanjutnya.
Selain itu, debu panas yang mengepul dari Gunung Merapi membuat jenazah korban mengeras dan sulit diidentifikasi.
“(Wajahnya) juga keras, tertutup, makanya dia akan coba menghilangkannya. Kami akan memeriksa apakah ada kesalahan lainnya. “Pakaian tersebut juga sangat sulit dikenali karena penuh dengan debu panas,” kata Dr. Gegabah.
Diketahui, letusan Gunung Merapi terjadi pada malam hari tanggal 26 Oktober 2010 saat masyarakat sedang beristirahat dan tidur.
“Iya (badan korban kaku), ada yang duduk, ada yang meringkuk. “Dan Mbah Maridjan saat itu sedang berlibur,” kata dr. Sumy Hastry.
Dokter Hastry kemudian mengatakan, Mbah Maridjan tidak berbaring melainkan tidur.
“Karena posisi tidurnya memberikan kesan berbaring. Namun kenyataannya, dia terlihat seperti sedang memegang atau membungkuk karena ketegangan pada otot tubuhnya. “Itu menunjukkan bahwa Anda sedang berbaring tengkurap, padahal itu bukan sekedar tempat untuk tidur,” lanjutnya
Pakar forensik Dr. Terburu-buru jenazah Mbaha Maridjan baru bisa diangkat 3 atau 4 hari setelah letusan Gunung Merapi.
“Dia rupanya ditemukan di rumahnya pada hari ketiga atau keempat,” kata dr Sumy Hastry.
Ia mengatakan, tim forensik bekerja sangat cepat agar jenazah korban letusan Gunung Merapi dapat segera dimakamkan. Apalagi, tidak ada pengaruh apa pun terhadap dokter yang menangani sisa abu panas tersebut.
“Iya ayo cepat kita cari tahu dan segera kubur, tapi debu panas juga bisa mengganggu kita dan tim, sehingga Pemkot Yogyakarta juga bisa mengetahui nomornya. “Kalau ada ledakan lagi misalnya sudah siap, ngotot tetap di sana, dan mau dievakuasi,” kata dr Hastry.
Dr Sumy Hastry mengatakan tim Basarnas juga mengalami ketertinggalan.
“Ada juga korban tim Basarnas yang pindah ke sana, kami kenali dari pakaiannya,” jelasnya.
“Kami berhasil menemukan dan menemukan korban dalam hal ini Mbah Maridjan yang tidak terjatuh tertelungkup seperti yang disebutkan, karena sering terjadi karena berusaha melindungi dirinya,” kata dr. Gegabah.
Selain itu, letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 merupakan peristiwa besar yang menewaskan sedikitnya 353 orang, termasuk penjaga Gunung Merapi, Mbah Maridjan.
Ada fakta yang bisa ditarik dari dahsyatnya letusan Gunung Merapi, salah satunya bisa ditemukan di museum di Yogyakarta, Museum Mini Sisa Hartaku. (Kmr/ind)