Jakarta, disinfecting2u.com – Front Persatuan Yudisial (Baradatu) mengabarkan tiga hakim Pengadilan Negeri Medan telah memerintahkan penjatuhan hukuman kepada Komisi Yudisial (Kentucky).
Dua terdakwa Janssen (66) dan Meliana Jasman (66) yang memalsukan tanda tangan direksi perusahaan, dibebaskan oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (11 Juni 2024).
Helvant Nurmanshah, Ketua Front Pembela Bersatu, mengunjungi Komite Kehakiman dan meminta penyelidikan lebih lanjut atas insiden tersebut.
Helwant menilai putusan bebas tersebut aneh karena meski dokumennya palsu, namun majelis hakim memutuskan perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.
Meskipun perbuatan itu terbukti, namun tidak dianggap sebagai perkara pidana,” tegasnya dalam keterangannya, Kamis (14 November 2024).
Keputusan ini menimbulkan keraguan akan kemungkinan adanya “kecurangan” dalam proses pengambilan keputusan.
Keputusan aneh ini juga menimbulkan dugaan adanya suap terhadap majelis hakim yang mengadili kasus tersebut.
Oleh karena itu, Bapak Baradatu menyatakan bahwa ada tiga orang hakim yang turut serta dalam pengambilan keputusan ini yaitu Bapak M. Nazir sebagai Hakim Ketua, Bapak Efrata Happy Tarigan sebagai Hakim Pembantu dan Bapak Khairruddin sebagai Hakim Pembantu.
KY pun langsung dipanggil untuk menguji tiga orang.
Ia membandingkan kasus tersebut dengan kasus penganiayaan yang dilakukan terdakwa Gregorius Ronald Tanur di Surabaya, Jawa Timur, yang berujung pada meninggalnya Dini Sera Afrianti.
Meski ada bukti kuat melakukan kesalahan, Ronald dibebaskan oleh hakim.
Baru-baru ini, tiga hakim PN Surabaya, Erintua Damanik, Mangapur, dan Helu Haninjo ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari pengacara Ronald Tanur, Lisa Rahman.
Nama Liza pun sempat dicurigai.
“Kami ingin Komisi Yudisial mengusut dan memanggil hakim-hakim tersebut. Ini kasus kedua seperti kasus Ronald Tanur di Jawa Timur,” ujarnya.
Helvant mengingatkan, kejadian seperti itu bisa dicegah bila pengawasan ketat dilakukan oleh HCs sejak dini, serta asesmen setelah kejadian.
“Kami berharap Kentucky dapat mencegah kejadian seperti ini sejak awal, terutama kejadian yang melibatkan uang dalam jumlah besar seperti ini,” kata Helwant.
Selain ke Kentucky, Baradatu juga berencana melaporkan kejadian tersebut ke Komite III Komisi Pemberantasan Korupsi (ACC).
“Berdasarkan analisa hukum kami, kami menilai majelis hakim telah keliru dan khilaf dalam mengambil putusan tersebut.
Oleh karena itu, Pak Baradatu menyerukan agar terak di Pengadilan Negeri Medan menjadi perhatian Badan Hukum DPR.
Dia ingin komite hukum Republik Demokratik Kongo bertindak seperti saat pertama kali menanggapi pembebasan Ronald Tanner.
“Kita belajar dari kasus Surabaya di Jawa Timur betapa cepatnya sikap Panitia DPR RI terhadap bebasnya Ronald III. Oleh karena itu, kita berharap juga ada respon yang cepat dalam kasus ini,” kata Helwant.
Oleh karena itu, dalam beberapa hari mendatang, Pak Helwant akan mengunjungi Komite III DPR RI untuk meminta perhatian serius terhadap kejadian tersebut.
“Kita mulai hari ini dengan Komisi Yudisial dan mungkin beberapa hari ke depan kita akan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komite III,” ujarnya.