NEWS Bahlil Patahkan Cecaran Guru Besar UI di Sidang Doktor, Bongkar Alasan Hilirisasi RI Disebut Untungkan Asing: Tamparan Keras untuk Pihak Ini

Jakarta, disinfecting2u.com – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia baru saja lulus sidang terbuka promosi PhD di Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI), Rabu (16/10/2024 ). .

Dalam persidangan, Bahlil diperiksa oleh akademisi senior, termasuk Drs. Margaretha Hanita, SH, MSI, Prof. Dr. Hanif Saha Ghafoor, Prof. Didik Junaidi Rachabini, MSc, PhD, Prof. Dr. Arif Satria, SP, MSI dan Prof. Dr. Kosuke Mizuno.

Momen menarik dalam pemeriksaan Bahlil adalah ketika Prof. Didik Junaidi Rachabini melontarkan pertanyaan tajam seputar hilirisasi industri nikel.

Dalam pertanyaannya Prof. DDK menekankan pentingnya industri strategis bagi kemajuan perekonomian Indonesia. 

“Industri strategis ini tentunya bersama industri lainnya menjadi kunci untuk bisa bergerak menuju pertumbuhan 7-8% kepemimpinan Prabowo. Kalau tidak, lupakan saja,” kata profesor itu. Dididik dengan batu.

Tidak hanya itu Prof. DDK juga mengkritisi kebijakan hilirisasi mineral yang dinilai lebih menguntungkan pihak asing.

Ia juga menyinggung peran Pasal 33 yang mengutamakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan mempertanyakan apakah industri dalam negeri mampu mewujudkan hal tersebut.

Menanggapi komentar Guru Besar UI tersebut, Bahlil dengan tegas mengakui bahwa politik hilir memiliki kelebihan dan kekurangan.

Namun mantan Menteri Investasi itu menegaskan, proses itu perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah lokal. “Smelter ini hanya menguntungkan asing, nilai tambah itu asing. Lumayan, betul. Tapi kita lihat ke belakang, negaranya apa?” dilakukan dalam rangka menciptakan dan meningkatkan nilai tambah, serta seluruh nilai tambah yang ada di Indonesia?”

Selain itu, Bahlil menjelaskan permasalahan utama yang dihadapi industri pengecoran di Indonesia.

Dijelaskannya secara gamblang, salah satu alasan Indonesia membutuhkan investasi asing adalah sulitnya memperoleh dukungan perbankan dalam negeri.

“Kalau kita punya bank-bank nasional yang mau membiayai krisis, di mana mereka? Kalaupun ada, mereka meminta 40-50% ekuitas (hak atau kepentingan pemilik atau badan atas aset pemilik atau perusahaan). Sejak Dari dimana? Siapa yang bisa melakukan ini? Menyoroti kesulitan pembiayaan, kata Bahlil.

Kalaupun di sana prosesnya lama. Kalau tawaif di Makkah jelas berapa putarannya dan menitnya berapa, kalau tawaif di bank belum jelas selesainya kapan. .Itu baru keputusan pemerintah, belum,” kata Bahlil mengkritik sistem perbankan Indonesia.

Dalam pemaparannya, Bahlil menanggapi dengan lantang dan menawarkan solusi jika Indonesia tidak mau melibatkan asing.

Salah satunya adalah pemerintah dan perbankan harus duduk bersama untuk mendukung perusahaan dalam negeri.

“Tidak ada alternatif lain. Jika kita ingin memiliki kedaulatan penuh dalam pengelolaan sumber daya alam, maka pemerintah dan perbankan harus mengambil keputusan bersama untuk membiayai industri nasional,” kata Bahlil.

“Kalau ini terjadi, kita tinggal membeli teknologi luar negeri. Kalaupun kita kerja sama, jumlahnya tidak banyak, dan mungkin bisa masuk pasar ekspor. Hal serupa juga terjadi di China pada era 80-an-90an,” tuturnya. stres

Di akhir jawabannya, Bahlil optimistis konsep hilirisasi yang dikemukakan kajian akademisnya bisa membawa manfaat besar bagi Indonesia.

Insya Allah konsep yang saya tawarkan ini lebih dekat dengan terciptanya nilai tambah yang kita harapkan dapat diwujudkan sepenuhnya oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk kesejahteraan rakyat kita, tutupnya.

Mendengar jawaban Bahlil, Prof. DDK tidak merespon dalam waktu lama setelah itu. Ia hanya memperingatkan agar tidak ada bukti nyata apa yang akan dilakukan pemerintah ke depan.

Kita tunggu saja realisasinya, kata Prof. Didik mendapat tepuk tangan meriah dari penonton.

Untuk menambah wawasan, Bahlil melakukan penelitian doktoral bertajuk “Kebijakan, Kelembagaan dan Tata Kelola Downgrading Nikel yang Adil dan Berkelanjutan di Indonesia.”

Bahlil Lahdalia meraih gelar PhD cum laude dalam bidang kajian strategis dan global dari UI. Pembacaan judul Sesi Promosi Presiden Prof. Bahlil meraih I Ketut Surajya dalam waktu kurang dari 2 tahun. (rpi)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top