Jakarta, disinfecting2u.com – Lembaga Penelitian Energi dan Lingkungan, Institute for Essential Services Reform (IESR), baru saja merilis dua laporan penting mengenai perkembangan energi surya dan pengkajian sistem penyimpanan energi di Indonesia.
Studi ini menunjukkan bahwa energi surya di Indonesia tumbuh lambat dibandingkan target pemerintah, namun terdapat peluang besar untuk mempercepat pembangunan.
Rencana pengembangan tenaga surya yang ambisius dan penerapan teknologi penyimpanan energi merupakan elemen penting dalam transisi energi di Indonesia. Laporan Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2025 menyatakan bahwa pada tahun 2024 pada bulan Agustus Kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya di Indonesia mencapai 718 MW.
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang ditetapkan PLN.
Namun, pemerintah dan Zloty telah merencanakan untuk memperluas pembangkit listrik tenaga surya hingga 17 GW, sehingga membuka peluang besar untuk meningkatkan kapasitas terpasang dan investasi di sektor ini.
Laporan IESR Powering the Future juga menilai Indonesia masih dalam tahap awal penerapan sistem penyimpanan energi (ESS).
Pemahaman dan komitmen yang lebih baik dari para pembuat kebijakan diperlukan untuk mempercepat penerapan energi surya dan ESS di Indonesia.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menegaskan Indonesia perlu mencapai kapasitas PLTS sebesar 77 GW pada tahun 2030. atau sekitar 9-15 GW per tahun dari tahun 2024 hingga 2030 untuk memenuhi target global tahun 2030. tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan.
Ia menegaskan, mulai tahun 2022 penambahan tenaga surya akan terjadi secara lambat dan didominasi oleh PV skala utilitas (208 MW), diikuti oleh PV atap (143 MW) dan PV perumahan (100 MW).
Fabby mengusulkan agar pemerintah meningkatkan target energi terbarukan pada tahun 2025 dan 2030, agar energi surya menjadi tulang punggung transisi energi dan lebih cepat mendukung investasi PV skala besar.
Peningkatan ambisius dalam target bauran energi terbarukan juga harus dikombinasikan dengan komitmen yang lebih ambisius untuk mengurangi emisi dalam kontribusi yang ditentukan secara nasional (SNDC, NDC kedua).
“Pemerintah harus lebih ambisius dalam meningkatkan efisiensi energi surya pada tahun 2030.” Rencana yang ada saat ini masih jauh dari tujuan Perjanjian Paris. Meski terdapat tantangan terkait kontinuitas, namun hal tersebut tidak menjadi alasan untuk membatasi pengembangan PLTS. Di banyak negara, penetrasi PLTS lebih dari 10% total daya tidak menjadi masalah bagi keandalan listrik,” kata Fabby dalam keterangannya, Jumat (18/10/2024).
Di sisi lain, Alvin Putra Sisdwinugraha, penulis ISEO 2025 dan analis listrik dan energi terbarukan IESR, mengatakan tren investasi energi surya di Indonesia meningkat dua kali lipat dari 68 juta USD pada tahun 2021 hingga 134 juta USD pada tahun 2023
Menurut Alvins, stabilitas regulasi dan aksesibilitas pasar PLTS akan sangat menentukan daya tarik investasi. Proyek energi surya yang direncanakan dengan kapasitas 17 GW dapat menjadi dasar strategi yang kuat di sektor ini.
“Kebijakan kuota PV Rooftop dan pelonggaran persyaratan TKDN dapat meningkatkan pertumbuhan permintaan domestik secara signifikan.” Namun sinyal kuat dari pemerintah dalam bentuk insentif dan proyek jelas diperlukan. Tahun 2025 akan menjadi tahun yang penting untuk menilai efektivitas regulasi tenaga surya dan memastikan infrastruktur dapat mendukung “penetrasi tenaga surya skala besar,” kata Alvin.
IESR juga mencatat bahwa investasi sektor tenaga surya dalam rantai pasokan modul PV telah meningkat, khususnya terkait dengan proyek ekspor listrik terbarukan strategis antara Singapura dan Indonesia.
Kapasitas produksi modul fotovoltaik diperkirakan mencapai 19 GW per tahun, dengan tambahan 200.000 ton silikon surya dan 17 GW sel surya.
Dalam laporan Powering the Future, IESR menyoroti bahwa sistem penyimpanan energi akan sangat penting dalam mentransformasi sektor energi Indonesia sehingga pada tahun 2060 apakah emisi nol bersih (NZE) akan tercapai lebih cepat.
Direncanakan kapasitas energi surya dan angin pada tahun 2060 akan mencapai 77% dari total kapasitas pembangkit terpasang, diperlukan setidaknya 60,2 GW penyimpanan energi. Meski penerapan teknologi ini masih dalam tahap awal, namun diperlukan strategi yang lebih matang untuk mempercepat perkembangannya.
Penulis Powering the Future 2024, Muhammad Bintang menjelaskan, pengembangan sistem penyimpanan energi di Indonesia masih terbatas.
Saat ini, sistem penyimpanan energi skala besar tidak beroperasi di negara tersebut. Namun, proyek ekspor listrik ke Singapura dapat memberikan dorongan untuk mempercepat penerapan ESS dan BESS, serta kapasitas penyimpanan pada tahun 2030. harus meningkat 1000 kali lipat dan mencapai 33,7 GWh.
IESR mengusulkan beberapa langkah untuk mempercepat penggunaan ESS di Indonesia.
Pertama, perlunya perbaikan kerangka peraturan dan memberikan kepastian hukum kepada pengembang ESS untuk mengurangi risiko dan meningkatkan kepercayaan investor.
Kedua, pengembangan infrastruktur dan teknologi penyimpanan energi melalui proyek percontohan. Ketiga, meningkatkan efektivitas biaya proyek penyimpanan energi. Keempat, praktik penambangan yang bertanggung jawab harus dipastikan di industri terkait.
Dapat disimpulkan bahwa Indonesia mengambil jalur yang menjanjikan dalam penggunaan energi terbarukan, khususnya energi surya dan sistem penyimpanan energi. Meskipun masih banyak tantangan, dengan kebijakan yang tepat, negara ini mempunyai potensi besar untuk menjadi pemain kunci dalam transisi energi global. (pi)