Jakarta, disinfecting2u.com – Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023 mengundang sorotan dari berbagai pihak.
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) BPK Semester I-2024, laporan keuangan OJK mendapat nilai “Wajar dengan Pengecualian” (WDP) yang menunjukkan terdapat sejumlah kendala dalam penyajian laporan.
Mengkritik hal tersebut, Pengamat Ekonomi Januari Rizki menilai pandangan WDP merupakan permasalahan serius terkait standar akuntansi, standar auditing, bahkan kemungkinan kerugian negara akibat tidak adanya transparansi pelaporan.
Menurut Yanuar, permasalahan utama dalam opini WDP ini muncul dari ketidakmampuan BPK memeriksa bukti-bukti terkait kebijakan dan transaksi yang dianggap rahasia oleh OJK.
Yanuar juga menegaskan, kegagalan dalam memenuhi standar bukti audit dalam proses audit dapat mempengaruhi keakuratan penilaian nilai aset, liabilitas, pendapatan, dan beban.
“BPK sebagai pemeriksa tidak memenuhi standar bukti pemeriksaan karena tidak bisa memeriksa dokumen transaksi yang dianggap rahasia. Hal inilah yang menyebabkan WDP berpendapat atas laporan keuangan OJK,” kata Yanuar Rizky kepada tvOnenews com, Selasa (. 29/10/2024).
Januari juga menyoroti pentingnya penerapan standar akuntansi yang tepat, terutama jika ada pendapatan dan pengeluaran dari tahun 2022 yang dicatat pada tahun 2023.
Menurut dia, tindakan tersebut melanggar standar akuntansi yang berlaku dan dapat berdampak serius terhadap kualitas pelaporan keuangan OJK.
“Apabila pendapatan dan pengeluaran tahun 2022 yang dicatat pada tahun 2023 melanggar aturan akuntansi, maka OJK harus melakukan penyesuaian terhadap LK OJK tahun 2022 (restatement) dan melakukan penyesuaian terhadap LK tahun 2023, sehingga OJK harus melakukan restatement jika ingin mendapat ‘tidak’. Pendapat yang wajar,” tegas Rizky.
Lebih lanjut, Rizky mengingatkan, ketidakpatuhan terhadap standar akuntansi dapat berdampak langsung pada kepercayaan masyarakat terhadap OJK dan kinerja keuangannya.
Menurutnya, transparansi dan akuntabilitas pencatatan keuangan lembaga sebesar OJK sangat penting, karena berpotensi menghindari kerugian negara yang besar.
Pasalnya, hal tersebut bukan hanya persoalan teknis akuntansi saja, namun juga merujuk pada kemungkinan kerugian negara. Jika pelaporan keuangan OJK tidak transparan dan akurat, dampaknya dapat berdampak pada stabilitas sektor keuangan dan kepercayaan masyarakat.
Berdasarkan IHPS Semester I 2024, BPK mencatat aset dan liabilitas OJK tercatat masing-masing sebesar Rp11,98 triliun dan Rp3,49 triliun per 31 Desember 2023, sedangkan pendapatan dan beban tahun 2023 tercatat sebesar Rp8,26 triliun dan Rp8,26 triliun. .
Namun BPK menegaskan, masih belum cukup bukti untuk menilai dampak kebijakan rahasia OJK terhadap nilai aset, liabilitas, pendapatan, dan beban.
“BPK tidak dapat memperoleh bukti yang cukup untuk menilai dampak kebijakan rahasia OJK terhadap nilai aset, kewajiban, pendapatan, dan pengeluaran,” kata BPK dalam laporannya yang dipublikasikan disinfecting2u.com, Jumat (25/10/2024). ). ).
Oleh karena itu, BPK tidak dapat menentukan apakah perlu dilakukan penyesuaian terhadap nilai aset dan liabilitas per 31 Desember 2023, serta pendapatan dan beban tahun 2023, jelas BPK.
Untuk itu, BPK merekomendasikan agar Dewan Komisioner OJK lebih jelas dalam menentukan pendelegasian wewenang terkait kebijakan strategis dan operasional, serta dalam menentukan sanksi terkait penerbitan instruksi tertulis yang melebihi kewenangan.
BPK mengungkapkan, OJK melaporkan beban kegiatan administrasi sebesar Rp6,15 triliun pada tahun 2023.
Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 759,61 miliar digunakan untuk membayar imbalan prestasi atas kinerja organisasi dan prestasi individu pegawai pada tahun 2022.
Temuan BPK lainnya terkait uang tunai dan surat berharga yang dibatasi penggunaannya, dimana OJK dikabarkan belum memulihkan pengeluaran uang tunai senilai Rp394,1 miliar.
“OJK telah melakukan pengeluaran uang tunai senilai Rp394,10 miliar yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dipulihkan,” tulis BPK.
BPC merekomendasikan agar Dewan Komisioner segera mengambil tindakan untuk memulihkan kemungkinan kerugian negara.
Total, pemeriksaan BPK menemukan 12 temuan dengan 13 permasalahan, terdiri dari 10 kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) dan 3 ketidakpatuhan terhadap peraturan. (rpi)