disinfecting2u.com – Terpilihnya Ketua Mahkamah Agung Sunarto sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) menjadi angin segar dalam upaya pemberantasan korupsi. Sosok Sunarto digadang-gadang sebagai hakim yang bersih, berintegritas, dan jauh dari campur tangan.
Harapan muncul dari Komisi Yudisial (KY). Ketua KY, Prof. Amzulian berharap Sunarto bisa membawa perubahan di MA. Sehingga Mahkamah Agung menjadi lembaga peradilan yang unggul dan semakin dipercaya masyarakat.
“Terpilihnya Profesor Sunarto sebagai Ketua MA merupakan angin segar bagi penegakan hukum yang adil dan bebas. Saya berharap MA menjadi lembaga peradilan yang benar-benar dipercaya masyarakat, kata Amzulian.
Harapan yang sama juga dimiliki oleh akademisi, pakar hukum, dan aktivis antikorupsi terhadap Sunarto. Kini, kewenangan MA menjadi landasan utama mencari keadilan pada sosok Sunarto.
Di antara harapan baiknya, para ahli juga mengingatkan Sunarto agar bebas dari campur tangan penanganan kasus hukum. Salah satunya menangani kasus Peninjauan Kembali (PK) mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming.
Sunarto diminta benar-benar menggunakan hukum dan menggunakan hati nuraninya untuk memproses kasus Maming. Sebab, kuat dugaan kasus Maming dilakukan dengan sengaja.
Dalam kasus Mardani H Maming, ahli seperti Profesor Romli Atmasasmita dari Universitas Padjadjaran menilai ada kesalahan hukum dalam putusan hakim.
Profesor Romli menegaskan, tuntutan dan putusan pidana terhadap Maming tidak berdasarkan fakta hukum, melainkan berdasarkan imajinasi aparat penegak hukum.
“Proses hukum terhadap terdakwa tidak hanya menunjukkan kekeliruan atau kekeliruan besar, namun merupakan kesalahan hukum yang serius,” imbuh Ketua Tim Penyusun Pemberantasan Tipikor dan Pembentukan RUU Tipikor ini. Komite Penghapusan.
Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) sekaligus aktivis HAM dan antikorupsi Todung Mulya Lubis pun mendesak pencopotan mantan Pemerintahan Tanah Bumbu periode 2010-2015 dan 2016-2018, Mardani H Maming.
Todung Mulya Lubis mengatakan, terjadi miscarriage of justice dalam penanganan kasus korupsi yang menjebloskan Mardani H Maming ke penjara, menurutnya, tidak cukup bukti dalam putusan yang diberikan kepada Mardani H Maming dan terkesan dipaksakan. .
Bentuk paling signifikan dari miscarriage of justice adalah kegagalan memenuhi hak atas peradilan yang adil. Hakim memilih-milih bukti-bukti yang diajukan selama persidangan. Hakim lebih memilih keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu) untuk dipertimbangkan. sebagai penyebabnya. Hal itu sejalan dengan tuntutan jaksa penuntut umum, daripada melihat bukti-bukti lain yang mengatakan sebaliknya,” kata Todung, Jumat, 25 Oktober 2024.
Ia juga menyatakan tidak ada unsur keadilan dalam hukuman terhadap terpidana. “Sikap sepihak ini jelas merupakan persidangan yang tidak adil. Jika alat bukti dinilai secara adil, maka dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak benar-benar terbukti,” ujarnya.
Hoodung juga menjelaskan, hakim melakukan penafsiran hukum terhadap proses hukum yang berlangsung sehingga menyimpulkan unsur Pasal 12 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Sementara itu, penggunaan analogi sebagai dasar pengambilan keputusan merupakan pelanggaran berat terhadap asas legalitas.
“Pemaksaan yang paling terlihat dalam konstruksi hukum adalah mencari keuntungan dan membagikan hasil usaha sebagai hadiah. Dengan mengatakan bahwa keuntungan dari hasil usaha sama dengan memberi hadiah, hakim sebenarnya sedang menganalogikan. asas legalitas yang merupakan asas paling dasar dalam hukum pidana,” ujarnya.
Todung Mulya Lubis juga menekankan minimnya lembaga peradilan seperti Inggris, padahal sangat penting jika seorang hakim melakukan kesalahan dalam memvonis suatu perkara.
“Indonesia tidak mengakui langkah pengujian ulang seperti di Inggris. Namun lembaga peninjau bisa menjadi pilihan untuk koreksi tersebut,” ujarnya.
Terakhir, dia juga berharap Mahkamah Agung (MA) hati-hati mengulangi hukuman yang diberikan kepada pelaku setelah amicus curiae dilayangkan.
“Khusus kasus Maming, saya berharap MA dalam proses pidana benar-benar bisa memperhatikan miscarriage of justice yang terjadi dan memperbaikinya. Untuk itu, saya akan menyiapkan amicus curiae terkait hal tersebut. perkaranya akan dilimpahkan ke Pengadilan Agung minggu depan,” ujarnya.
Menurut Profesor. dr. Topo Santoso, SH, MH, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia pun menegaskan, pengusaha Mardani H Maming harus segera dibebaskan karena kesalahan hakim. Akademisi yang juga tergabung dalam Tim Asistensi Penyusunan UU Pemberantasan Tipikor dan RUU KUHP ini mengatakan, ada beberapa hal yang menunjukkan kesalahan hakim dalam menanyakan Mardani H Maming.
“Putusan pengadilan terhadap Mardani H Maming menunjukkan kekeliruan atau kekeliruan berat. “Aspek penerimaan hadiah pada bagian penagihan tidak ditemukan karena perbuatan hukum dalam proses bisnis seperti biaya, dividen dan utang piutang merupakan hubungan perdata yang tidak dapat ditarik ke ranah pidana,” ujarnya.
Selain itu, terdapat pula putusan Pengadilan Niaga yang diambil melalui mekanisme persidangan terbuka. Putusan tersebut menyatakan tidak ada kesepakatan tersirat sehingga tidak ada hubungan sebab akibat antara pengangkatan tergugat sebagai Bupati dengan penerimaan fee atau dividen.
Oleh karena itu, tidak ada unsur kedengkian (mens rea) dalam perbuatan terdakwa. Oleh karena itu, Mardani H Maming harusnya dinyatakan bebas, kata akademisi yang juga guru pembinaan calon hakim tipikor di Mahkamah Agung itu.
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UII, Dr Mahrus Ali, menegaskan Mardani H Maming tidak melanggar satu pun dakwaan sehingga sebaiknya dibebaskan demi kepentingan hukum dan keadilan.
“Perbaikan putusan itu penting, ini bukan untuk Maming saja, tapi untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap MA,” jelas Mahrus Ali (chm).