Jakarta, disinfecting2u.com – Aktivis lingkungan hidup Bangka Belitung (Babel) Elly Rebuin mengajukan diri sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi PT Timah, bersama terdakwa Harvey Moeis, Reza Andriansyah, dan Suparta.
Dalam persidangan, Elly menyatakan kehadiran smelter di Babel membawa perubahan signifikan dalam pengelolaan sumber daya mineral dan distribusi kekayaan di wilayah tersebut.
Salah satu dampak baiknya, menurut dia, adalah berkurangnya aktivitas penyelundup atau eksportir timah ke luar negeri.
Selain itu, pertambangan juga memberikan lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pertambangan sehingga juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Yang pasti asapnya berkurang dengan hadirnya smelter. Tandanya perekonomian tumbuh dan monopoli pertambangan PT Timah sudah tidak ada lagi. Saat ini, dunia juga diberi kesempatan (menambang) , “katanya.
Dia menjelaskan, sebelum adanya smelter, PT Timah mendominasi pengelolaan timah di Banga.
Namun, seiring dengan diperbolehkannya perusahaan swasta untuk berpartisipasi, maka terciptalah opsi kerja sama yang memungkinkan masyarakat mengelola tambang.
“Dengan adanya swasta, ada baiknya masyarakat diberikan pilihan untuk mengelola timah, sehingga kepedulian mereka semakin meningkat,” lanjutnya.
Keberadaan smelter juga memberikan kestabilan harga timah dan mengurangi ketergantungan terhadap pasar gelap. Kolektor atau CV yang bekerja harus memiliki perkumpulan yang sah dan membayar pajak, sehingga meningkatkan partisipasi mereka dalam pemerintahan daerah dan negara bagian.
Namun demikian, tantangan masih tetap ada karena penyelundupan timah ilegal masih terjadi meski sudah menurun.
“Masih ada asap, kemarin sudah tertangkap. Yang kami takuti adalah mereka yang menambang tanpa izin, merusak lingkungan, dan menjual produknya ke luar negeri,” ujarnya.
Sementara dengan maraknya kasus korupsi PT Timah, banyak kilang minyak yang terpaksa tutup. Hal ini berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tak hanya itu, para penambang rakyat ini pun mulai berkurang, akibat sulitnya mendapatkan izin pertambangan, serta berkurangnya jumlah pekerja smelter.
Elly mengatakan, hal itu berdampak pada kemampuan masyarakat dalam menghadapi dan memberikan efek domino pada aspek sosial, termasuk angka kriminalitas.
“Dulu kalau orang bebas menambang timah, orang bahkan tidak berani bawa sepeda motor yang kuncinya di sebelah kiri, sekarang kalau sepeda motor malah bawa bensin 3 kilo. Artinya, ada perbedaan besar dalam tingkat kejahatan,” ujarnya.
Namun jaminan sosial tetap menjadi prioritas, terutama bagi mereka yang bergantung pada pertambangan.
Ia menekankan pentingnya kerja sama antara pemilik lahan pertambangan dan pemegang izin pertambangan (IUP) agar masyarakat mempunyai akses hukum terhadap pertambangan.
“Tahun 2018 masih banyak yang menambang masyarakat. Dengan ide kerja sama ini, kita bisa menyelamatkan mereka yang tidak tahu hukum. Yang penting mereka bisa beroperasi tapi kita tidak menyelundupkan produknya,” jelasnya. Kelestarian lingkungan juga menjadi perhatian. Reklamasi lahan rusak dilakukan sewaktu-waktu dalam rangka merehabilitasi bagian rusak yang saat ini digunakan untuk berbagai infrastruktur termasuk kantor pemerintahan. “Kantor Gubernur dan Polres berada di bekas lahan pertambangan, selain itu juga terdapat lahan luas yang dijadikan kolam setelah pengambilalihan,” imbuhnya. Keberadaan smelter tidak hanya mengurangi penyelundupan dan memberikan stabilitas ekonomi, tetapi juga mendorong masyarakat untuk melakukan penambangan legal sekaligus menjamin keberlangsungan lingkungan melalui pemulihan yang bertanggung jawab (ant/lgn).