disinfecting2u.com – Ustaz Adi Hidayat menjelaskan hukum menyeka wajah dengan handuk setelah dibersihkan.
Semua umat Islam tentunya akan berdandan sebelum shalat, membaca Alquran, dan lain-lain.
Tujuan dari waxing adalah untuk membersihkan diri dari kuku-kuku kecil.
Tentu saja beberapa bagian yang dibersihkan akan menjadi basah setelah terbakar.
Beberapa orang mengatakan bahwa mereka tidak mandi setelah dicuci karena airnya bersinar di langit.
Namun, apakah ini benar? Simak penuturan Ustaz Adi Hidayat berikut ini.
Ustaz Adi Hidayat menjelaskan, “Tidak ada hadits atau tafsir yang secara spesifik menyebutkan boleh tidaknya mengeringkan area setelah operasi. Boleh diusap, tidak,” demikian isi kanal YouTube resmi Ustaz Adi Hidayat.
Tidak ada penjelasan langsung tentang mengeringkan wajah setelah trauma, namun ada dalil yang menjelaskan kebiasaan Nabi Muhammad setelah dibersihkan.
Dalam salah satu riwayatnya, Rasulullah SAW meminta bendera (kain atau handuk) untuk mengeringkan diri setelah berwudhu.
Sedangkan dalam kisah lain, Rasulullah SAW ditawari bendera setelah mandi air deras, namun beliau menolak dan lebih memilih mengeringkan diri dengan tangan.
Para ulama berpendapat bahwa penolakan Rasulullah SAW untuk menggunakan mindil bukan berarti beliau tidak ingin menghapusnya.
Sedangkan kisah “pemberian akal” memperlihatkan bahwa Rasulullah SAW diberi handuk atau kain untuk mengeringkan diri setelah mandi atau membasuh diri.
Namun, dalam beberapa kasus dia lebih suka menggunakan tangannya.
Ustaz Adi Hidayat mengatakan banyak kesimpulan dari cerita ini.
Menurut Ustaz Adi Hidayat, larangan mengeringkan wajah setelah berwudhu mungkin karena adanya hadits terkait masalah tersebut.
Misalnya saja dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa umat Rasulullah SAW akan mendapat tanda khusus di hari kiamat, seperti cahaya.
Cahaya itu berasal dari tanda-tanda bersuci yang dilakukannya secara rutin sepanjang hidupnya.
“Para pengikut Nabi SAW akan mendapat cahaya atau tanda khusus ketika dipanggil di hari kiamat.
Ada beberapa penafsiran terhadap hadis ini.
Penjelasan aslinya mengatakan bahwa cahaya yang dimaksud berasal dari seseorang yang mempraktikkan perawatan diri.
Artinya, bilamana air pecah, meski sulit dicari, segeralah menggantinya dengan orang yang sudah mencuci dan menunaikan tayamum.
Tafsir kedua menjelaskan bahwa cahaya itu berasal dari orang-orang yang berakhlak baik, termasuk sifat-sifat baik yang terpancar pada wajah, tangan, dan kaki.
Hal ini berkaitan dengan proses pembersihan tubuh, yang tidak hanya membersihkan tubuh saja, namun menjadi masa introspeksi diri, taubat, dan pembersihan diri baik lahir maupun batin.
Ketika seseorang membasuh badannya misalnya, ia tidak hanya membersihkan mulutnya dengan badannya saja, tapi juga bertanggung jawab menjaga mulutnya dari kata-kata yang tidak baik.
Demikian pula organ-organ lain yang dimandikan dalam penyucian diarahkan pada perbuatan baik.
Oleh karena itu, cahaya memiliki makna simbolis, melambangkan keindahan yang terpancar dari tubuh manusia.
Ini tidak ada hubungannya dengan menyeka wajah Anda setelah dibersihkan.
“Jadi kembali lagi ke kita,” jelas Ustaz Adi Hidayat.
“Kalau situasinya sedang rapat, maka di toilet, kalau sedang ngompol saat rapat, atur saja kalau dilap boleh-boleh saja. Tapi kalau misalnya dalam keadaan tahajjud ingin sendiri, kamu tidak ingin menghapusnya, apa pun yang terjadi, katanya (gwn).