Jakarta, tvoews.com – Presiden Prabowo Subianto mengatakan keanggotaan Indonesia di BRICS akan memperluas kemitraan secara global, terutama di bidang ekonomi. Menurutnya, hal itu dilakukan agar Indonesia ada dimana-mana dan tidak memihak pada blok tertentu.
“Kami melihat perekonomian penting BRICS, India, Brazil, China, Afrika Selatan, sudah ada dan banyak negara tetangga kita sudah ada. Thailand, Malaysia sudah menyatakan minatnya, Uni Emirat Arab, Mesir,” kata Prabowo, Senin (28/12). ) . ./10) /2024).
Jadi kita ambil keputusan atau kita lihat saya kira Indonesia juga harus hadir di tempat itu. Supaya kita bisa baik di mana pun. Indonesia tidak bisa ikut blok tapi kita ingin ada di mana-mana, tambahnya.
Sebelumnya, peneliti Center for Economic and Legal Studies (CELIOS) Yeta Purnama memperkirakan langkah Indonesia bergabung dalam aliansi lima negara Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) dapat mempengaruhi proses aksesi Indonesia ke Organisasi Kerjasama Ekonomi. Operasi dan Pembangunan (OECD).
Yeta mengatakan peluang Indonesia untuk bekerja sama dengan OECD akan semakin kecil mengingat energi dan fokus pemerintah akan sangat mahal jika harus berpartisipasi dalam banyak kerja sama multilateral.
“Dibandingkan dengan BRICS, kebutuhan mendesak Indonesia untuk bergabung dengan OECD jauh lebih tinggi, sejalan dengan upaya Indonesia untuk menjadi negara maju. Selain itu, mengingat kelompok OECD memiliki anggota yang lebih besar, hal ini diyakini lebih penting. karena Indonesia perlu melakukan diversifikasi ke mitra yang lebih luas selain Tiongkok,” ujarnya. Yeta, dikutip Minggu (27/10/2024).
Oleh karena itu, menurut Yeta, akan jauh lebih efektif jika pemerintah hanya fokus pada satu proses kerja sama multilateral yang sudah ada.
Diketahui, pada forum KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia (24/10/2024), Menteri Luar Negeri Sugiono menyampaikan surat ketertarikan untuk bergabung dengan BRICS. Saat ini Indonesia telah resmi mendaftar keanggotaannya.
Ketertarikan tersebut tidak pernah diungkapkan secara eksplisit pada masa pemerintahan Presiden Jokowi karena beberapa alasan.
Hal tersebut antara lain kurangnya urgensi, perbedaan sistem politik, ketidakstabilan hubungan antar negara anggota BRICS, dan upaya menyeimbangkan hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika politik kepemimpinan baru ini menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang strategis jika ingin bergabung dengan aliansi BRICS.
Menurut CEO CELIOS Bhima Yudhistira, pendaftaran resmi Indonesia di BRICS menggarisbawahi ketergantungan Indonesia pada Tiongkok.
Padahal, tanpa BRICS, dalam hal investasi dan perdagangan Indonesia, pangsa Tiongkok sudah sangat besar. Impor Indonesia dari Tiongkok melonjak 112,6 persen dalam 9 tahun terakhir, dari 29,2 miliar dolar AS pada tahun 2015 menjadi 62,1 miliar dolar AS pada tahun 2023. Sedangkan investasi dari China melonjak 11 kali lipat pada periode yang sama,” kata Bhima.
Sementara itu, Direktur China-Indonesia Office CELIOS Muhammad Zulfikar Rakhmat mengatakan, keanggotaan Indonesia di BRICS dikhawatirkan akan mempengaruhi independensi Indonesia dalam bertindak terhadap berbagai isu krusial politik luar negeri.
“Salah satunya menanggapi manuver Tiongkok di Laut Cina Selatan,” kata Zulfikar.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah negara anggota BRICS seperti China dan India mengalami konfrontasi intens di tiga wilayah perbatasan kedua negara antara lain Himachal Pradesh, Uttarakhand, dan Arunachal Pradesh.
Menurut Zulfikar, konflik ini berpotensi mengganggu stabilitas hubungan Tiongkok dan India, sekaligus berdampak pada kemitraan dalam aliansi BRICS.(nba)