Surabaya, disinfecting2u.com – Seluruh juri di Indonesia berencana mengambil liburan kelompok selama seminggu. Aksi mogok sidang kali ini merupakan bentuk protes menuntut kenaikan gaji. Praktisi hukum di Surabaya mengkritik libur massal tersebut karena dapat membahayakan kepastian hukum dan merugikan para pencari keadilan.
Pengacara sekaligus praktisi hukum asal Surabaya, Sahlan Azor, mengungkapkan keprihatinannya atas aksi mogok massal tersebut.
“Hak cuti merupakan hak pribadi setiap pegawai, namun jika hal ini berujung pada terhentinya proses persidangan, tentu merugikan pihak pencari keadilan. Pengadilan adalah tempat masyarakat mencari keadilan, dan tanpa hakim yang mencari keadilan. mendengarkan kasus ini.” “Dalam hal ini dapat mempengaruhi kelangsungan hukum dan keadilan,” kata Sahlan.
Sahlan menyoroti beberapa permasalahan yang harus segera diselesaikan.
“Ada hal penting yang perlu segera diputuskan, seperti proses penangguhan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang batas waktunya hanya 20 hari. Kalau hakim mogok, apa jadinya kepastian hukum bagi narapidana.” Ia menambahkan, mereka yang menunggu keputusan pengadilan untuk memperpanjang atau membebaskan mereka “pasti akan sangat berbahaya bagi mereka yang menuntut keadilan.”
Pria asal Minang ini mengungkapkan keterkejutannya atas tuntutan kenaikan gaji hakim, apalagi mengingat situasi perekonomian yang lesu dan defisit anggaran negara.
“Kami sebagai pengacara, bekerja tanpa digaji pemerintah, dan sering menangani kasus-kasus pro bono,” kata Sahlan heran.
Ia pun mengkritisi pendapatan hakim yang menurutnya tidak hanya berasal dari gaji resmi.
“Penghasilan hakim tidak hanya dari gaji resminya, tapi juga dari hal-hal di luar itu. Seperti kasus hakim yang hartanya disebut-sebut Rp 33 miliar setelah bekerja selama 23 tahun. Kalau dihitung-hitung, itu lebih dari Rp 1 miliar.” Dia menambahkan bahwa jumlah ini “tentu saja tidak sepadan dengan gaji resmi mereka.”
Sahlan berharap proses cuti massal ini tidak berdampak pada integritas profesi hakim.
“Hakim mempunyai peranan yang mulia dan dihormati di masyarakat. Jika mereka melakukan perbuatan tersebut, kita harus mempertimbangkan apakah mereka masih pantas disebut Yang Berhormat. Etika profesi harus tetap dijaga, apalagi dalam keadaan krisis ekonomi dan defisit anggaran. Beliau menegaskan apa yang kita hadapi saat ini. (messi/gol)